PERSUSUAN INDONESIA

Latar Belakang

Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan rata-rata pendapatan penduduk, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Hal ini juga sejalan dengan Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Besarnya potensi sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memungkinkan pengembangan subsektor peternakan sehingga menjadi sumber pertumbuhan baru perekonomian Indonesia.

Salah satu komponen dari subsektor peternakan yang memiliki banyak manfaat dan berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia adalah agribisnis persusuan. Kondisi geografis, ekologi, dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok untuk pengembangan agribisnis persusuan. Selain itu, dari sisi permintaan, produksi susu dalam negeri masih belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Saat ini produksi dalam negeri baru bisa memasok tidak lebih dari 30% dari permintaan nasional, sisanya 70% berasal dari impor. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah: Akankah kita membiarkan negara lain untuk terus meraup manfaat dari pangsa sebesar 70% tersebut? Apa sajakah yang harus kita upayakan guna meningkatkan dayasaing agribisnis persusuan kita sehingga pangsa peternak domestik dapat ditingkatkan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, mari kita lihat kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari importasi produk-produk susu. Di antara kerugian tersebut ialah terkurasnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) yang berasal dari menganggurnya atau tidak dimanfaatkannya potensi sumberdaya yang ada untuk pengembangan agribisnis persususan, dan hilangnya potensi revenue yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan dikembangkan secara baik. Mengingat potensi sumberdaya alam Indonesia yang besar bagi pengembangan agribisnis persusuan, adalah ironis jika sebagian besar dari kebutuhan susu Indonesia masih harus diimpor. Dengan demikian, sudah sewajarnyalah bila pemerintah dan stakeholder lainnya perlu berupaya keras meningkatkan pangsa pasar (market share) para pelaku pasar domestik dalam agribisnis persusuan Indonesia.

Berkenaan dengan pertanyaan kedua, terlebih dahulu akan dipaparkan kondisi persusuan di Indonesia serta permasalahan yang dihadapi sebagai berikut.

Kondisi Persusuan di Indonesia

Dalam peta perdagangan internasional produk-produk susu, saat ini Indonesia berada pada posisi sebagai net-consumer. Sampai saat ini industri pengolahan susu nasional masih sangat bergantung pada impor bahan baku susu. Jika kondisi tersebut tidak dibenahi dengan membangun sebuah sistem agribisnis yang berbasis peternakan, maka Indonesia akan terus menjadi negara pengimpor hasil ternak khususnya susu sapi.

Dilihat dari sisi konsumsi, sampai saat ini konsumsi masyarakat Indonesia terhadap produk susu masih tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Konsumsi susu masyarakat Indonesia hanya 8 liter/kapita/tahun itu pun sudah termasuk produk-produk olahan yang mengandung susu. Konsumsi susu negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura rata-rata mencapai 30 liter/kapita/tahun, sedangkan negara-negara Eropa sudah mencapai 100 liter/kapita/tahun. Seiring dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat dan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, dapat dipastikan bahwa konsumsi produk-produk susu oleh penduduk Indonesia akan meningkat.

Perkiraan peningkatan konsumsi tersebut merupakan peluang yang harus dimanfaatkan dengan baik. Produksi susu segar dan produk-produk derivatnya seharusnya dapat ditingkatkan. Kondisi produksi susu segar Indonesia saat ini, sebagian besar (91%) dihasilkan oleh usaha rakyat dengan skala usaha 1-3 ekor sapi perah per peternak. Skala usahaternak sekecil ini jelas kurang ekonomis karena keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi sebagian kebutuhan hidup. Dari sisi produksi, dengan demikian, kepemilikan sapi perah per peternak perlu ditingkatkan. Menurut manajemen modern sapi perah, skala ekonomis bisa dicapai dengan kepemilikan 10-12 ekor sapi per peternak.

Dari sisi kelembagaan, sebagian besar peternak sapi perah yang ada di Indonesia merupakan anggota koperasi susu. Koperasi tersebut merupakan lembaga yang bertindak sebagai mediator antara peternak dengan industri pengolahan susu. Koperasi susu sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima peternak. Peranan koperasi sebagai mediator perlu dipertahankan. Pelayanannya perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas SDM koperasi serta memperkuat networking dengan industri-industri pengolahan. Adaptasi kelembagaan contract farming akan sangat membatu terwujudnya upaya ini.

Terkait dengan agribisnis susu, pada tahun 1983 Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi. Dalam SKB tersebut industri pengolah susu diwajibkan menyerap susu segar dalam negeri sebagai pendamping dari susu impor untuk bahan baku industrinya. Proporsi penyerapan susu segar dalam negeri ditetapkan dalam bentuk rasio susu yaitu perbandingan antara pemakaian susu segar dalam negeri dan susu impor yang harus dibuktikan dalam bentuk ”bukti serap” (BUSEP). BUSEP tersebut bertujuan untuk melindungi peternak dalam negeri dari persaingan terhadap susu impor. Namun dengan adanya Inpres No 4 Tahun 1998 yang merupakan bagian dari LoI yang ditetapkan oleh IMF, maka ketentuan pemerintah yang membatasi impor susu melalui BUSEP menjadi tidak berlaku lagi, sehingga susu impor menjadi komoditi bebas masuk. Persoalan di industri hilir pun ada, misalnya tarif BM yang tidak harmonis antara produk susu (5%) dengan bahan baku lain seperti gula (35%) dan kemasan (5%-20%). Guna meningkatkan pangsa pelaku pasar domestik dalam pasar susu segar Indonesia, BUSEP perlu diberlakukan kembali dan tarif BM produk susu perlu peninjauan kembali.

Permasalahan Teknis dan Kelembagaan

Kekurangan produksi susu segar dalam negeri merupakan peluang besar peternak susu untuk mengembangkan usahanya. Namun demikian peternak masih menghadapi permasalahan, antara lain yaitu rendahnya kemampuan budidaya khususnya menyangkut kesehatan ternak dan mutu bibit yang rendah. Kekurangan tersebut selain mengakibatkan lambatnya pertumbuhan produksi susu juga berpengaruh terhadap kualitas susu yang dihasilkan. Selain itu mulai sulitnya lahan sebagai sumber rumput hijauan bagi ternak, tingginya biaya transportasi, serta kecilnya skala usaha sebagaimana telah dikemukakan di atas, juga menjadi penghambat perkembangan produksi susu domestik.

Dalam hal pemasaran susu dari peternak dalam negeri, keberadaan Inpres No 4/1998 mengakibatkan posisi industri pengolahan susu menjadi jauh lebih kuat dibandingkan peternak karena industri pengolahan susu mempunyai pilihan untuk memenuhi bahan baku yang dibutuhkan yaitu susu segar dari dalam negeri maupun dari impor. Hal ini menyebabkan relatif rendahnya harga susu segar yang diterima oleh perternak dalam negeri.

Permasalahan lain yang dihadapi peternak adalah besarnya ketergantungan peternak terhadap industri pengolahan susu dalam memasarkan susu segar yang dihasilkannya. Dengan absennya keberpihakan Pemerintah terhadap peternak, hal ini menimbulkan kecenderungan bahwa harga susu segar yang diterima peternak relatif rendah. Adanya pemberlakuan standar bahan baku yang ketat oleh kalangan industri pengolah susu mendudukkan peternak sapi perah pada posisi tawar (bargaining position) yang rendah. Lebih ekstrim lagi, keberadaan industri pengolah susu ini dapat menyebabkan terbentuknya struktur pasar oligopsoni yang tentunya menekan peternak. Selain harga susu yang sangat murah pada struktur pasar tersebut, tekanan yang diterima peternak semakin bertambah dengan adanya retribusi yang diberlakukan oleh kebanyakan Pemda di era otonomi daerah ini.

Bila melihat perkembangan agribisnis persusuan di negara lain, peran koperasi sangatlah besar dalam mengembangkan usaha tersebut. Di India, misalnya, koperasi susu telah berkembang sedemikian rupa sehingga sampai saat ini kurang lebih telah berjumlah 57.000 unit dengan 6 juta anggota. Begitu pula di Uruguay, dimana para peternak domestiknya telah mampu memproduksi 90% dari total produksi susu nasional. Besarnya peran koperasi tersebut belum terlihat di Indonesia. Koperasi susu kita mempunyai posisi tawar yang sangat lemah ketika berhadapan dengan industri pengolahan susu, baik dalam hal jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang diperoleh.

Masalah penting lanilla mengenai perkoperasian susu adalah proses pembentukan koperasi tersebut umumnya bersifat top-down dan intervensi pemerintah relatif besar dalam mengatur organisasi. Pembentukan anggota koperasi bukanlah atas dasar akumulasi modal anggota tetapi lebih banyak bersifat pemberian kredit ternak sapi dalam rangka kemitraan dengan bantuan modal dari pemerintah. Status anggota koperasi hanya berfungsi pada saat menjual susu segar dan pembayaran iuran wajib dan iuran pokok. Koperasi sebagai lembaga ekonomi dalam menjalankan manajemen tanpa pengawasan yang ketat oleh anggota, justru sebaliknya koperasi cenderung berkuasa mengatur anggota.

Arah Kebijakan

Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak saat ini, yaitu dengan meningkatkan produksi dan konsumsi susu nasional. Adapun kebijakan dalam upaya substitusi impor susu yang dapat diambil untuk mencapai kondisi tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, Pemerintah perlu memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil ternak (susu) kepada para peternak. Dayasaing susu yang dihasilkan peternak hanya akan dapat ditingkatkan apabila produktivitas dan kualitas tersebut ditingkatkan. Untuk itu, penelitian dan pengembangan khususnya mengenai teknis dan manajemen produksi perlu ditingkatkan. Gerakan nasional seyogianya diikuti dengan aktivitas nyata berupa bantuan antara lain dalam bentuk pelatihan dan penyuluhan budidaya sapi perah yang baik, mendorong tersedianya bibit sapi unggul, kemudahan untuk pemanfaatan lahan, akses dan ketersediaan modal, serta pengembangan beragam industri pengolahan susu sehingga harga di tingkat peternak menjadi relatif lebih stabil.
Kedua, perlu dibentuk wadah kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan bersama antara peternak, koperasi susu dan industri pengolahan susu sehingga pengembangan agribisnis berbasis peternakan dapat berjalan dengan baik. Semua pihak yang terkait haruslah saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Ini dapat diwujudkan melalui sistem contract farming, dimana terdapat keterpaduan dari berbagai unsur baik peternak, koperasi, industri/pemodal maupun pemerintah.
Ketiga, koperasi susu perlu didorong dan difasilitasi agar dapat melakukan pengolahan sederhana susu segar, antara lain yakni pasteurisasi dan pengemasan susu segar, pengolahan menjadi yogurt, keju dsb. Hal ini disertai dengan program promosi secara luas kepada masyarakat (national campaign), terutama anak-anak, tentang manfaat mengkonsumsi susu segar dan produk-produk olahannya. Pendirian pabrik pengolahan susu yang dimiliki gerakan koperasi juga perlu didorong. Langkah ini diperlukan untuk mengantisipasi makin menguat dan relatif stabilnya nilai kurs rupiah terhadap US dolar, yang dapat mengakibatkan industri pengolahan susu kembali mengimpor sebagian besar dari bahan baku susunya dari luar negeri.
Keempat, Pemerintah Pusat maupun Daerah seyogianya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu memperkuat posisi tawar peternak sapi perah khususnya dan pengembangan agribisnis berbasis peternakan umumnya. Ini antara lain dapat dilakukan dengan menghapuskan retribusi yang menyebabkan ongkos produksi bertambah mahal, menghapuskan pajak pertambahan nilai bila pengolahan masih dilakukan oleh peternak, serta pemberlakuan tarif bea masuk terhadap susu impor untuk melindungi produksi dalam negeri.

Semoga keempat arah kebijakan di atas dapat segera diwujudkan oleh para pengambil kebijakan dalam rangka merealisasikan gerakan revolusi putih. Revolusi putih yang berhasil akan menjamin terjadinya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia: ketersediaan suplai susu yang terjamin, meningkatnya pendapatan peternak dan pelaku usaha lainnya di bidang peternakan dan terwujudnya masyarakat terutama anak-anak yang lebih sehat dan lebih pintar (healtier and brighter children).

Contract Farming

PENDAHULUAN

Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) ‎merupakan sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja nasional. Menurut data ‎Depnakertrans, tahun 2005, sektor ini menyediakan pekerjaan bagi 41,8 juta jiwa atau ‎‎44,04% dari total tenagakerja nasional. Akan tetapi petani yang bekerja di sektor ‎tersebut didominasi oleh rumah tangga yang sangat lemah dalam berbagai bidang, ‎seperti keterbatasan dalam menguasai aset produktif, modal kerja, posisi tawar dan ‎kekuatan politik ekonomi sehingga tidak dapat berkembang secara mandiri dan ‎dinamis. Jumlah penduduk miskin di Indonesia didominasi oleh masyarakat pedesaan ‎yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, peternak dan nelayan. Sementara ‎di pihak lain peluang-peluang baru untuk meningkatkan sektor pertanian lebih banyak ‎berpihak pada preses produksi dan pemasaran berskala besar. Kondisi tersebut ‎mengakibatkan bertambah rumitnya sistem produksi dan pemasaran yang dihadapi ‎oleh petani, peternak dan nelayan berskala kecil.‎

Khususnya dalam bidang peternakan terdapat berbagai masalah yang dihadapi ‎misalnya rendahnya kepemilikan modal, peralatan yang masih sederhana dan terbatas, ‎kurangnya industri pengolahan dan sulitnya aspek pemasaran, yang membuat peternak ‎tidak mampu menghasilkan produk yang bernilai dan berdaya saing tinggi. Oleh ‎karena itu, peternak memerlukan bantuan dan perlindungan dari banyak pihak, baik ‎pemerintah maupun swasta dalam menyelesaikan masalah tersebut. Untuk ‎memberdayakan peternak dalam posisi tawar dapat dilakukan antara lain dengan ‎membentuk kelembagaan yang merupakan organisasi kerjasama dan kemitraan. Salah ‎satu langkah strategis untuk membantu petani khususnya dalam proses produksi dan ‎pemasaran yaitu dengan sistem contract farming. ‎

APAKAH CONTRACT FARMING DAN APA SAJA MANFAATNYA?‎

Pengertian dan Tipe Contract Farming

Sistem pertanian kontrak (contract farming) merupakan satu mekanisme kelembagaan ‎‎(kontrak) yang memperkuat posisi tawar-menawar petani, peternak dan nelayan ‎dengan cara mengkaitkannya secara langsung atau pun tidak langsung dengan badan ‎usaha yang secara ekonomi relatif lebih kuat. Melalui kontrak, petani, peternak dan ‎nelayan kecil dapat beralih dari usaha tradisional/subsisten ke produksi yang bernilai ‎tinggi dan berorientasi ekspor. Hal ini tidak hanya berpotensi meningkatkan ‎penghasilan petani, peternak dan nelayan kecil yang ikut dalam kontrak tetapi juga ‎mempunyai efek berlipat ganda (multiplier effects) bagi perekonomian di pedesaan ‎maupun perekonomian dalam skala yang lebih luas.‎

Contract farming dapat juga dimaknai sebagai sistem produksi dan pemasaran berskala ‎menengah, dimana terjadi pembagian beban resiko produksi dan pemasaran diantara ‎pelaku agribisnis dan petani, peternak dan nelayan kecil; kesemuanya ini dilakukan ‎dengan tujuan mengurangi biaya transaksi. Menurut Eaton dan Shepherd (2001) ‎dalam bukunya Contract Farming: Partnership for Growth, contract farming dapat ‎dibagi menjadi lima model.‎
Pertama, centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana ‎sponsor membeli produk dari para petani dan kemudian memprosesnya atau ‎mengemasnya dan memasarkan produknya.‎
Kedua, nucleus estate model, yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model ‎ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang biasanya ‎dekat dengan pabrik pengolahan.‎
Ketiga, multipartite model, yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan ‎swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani.‎
Keempat, informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap ‎wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya membuat kontrak ‎produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman.‎
Kelima, intermediary model.‎

Di Indonesia secara umum kita mengenal empat tipe kontrak/kemitraan, yaitu:‎
pertama tipe kemitraan inti plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra ‎dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra bertindak sebagai plasma inti. ‎Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal a) penyediaan dan penyiapan ‎lahan (kandang), b) pemberian saprodi (sapronak), c) pemberian bimbingan teknis ‎manajemen usaha dan produksi, d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi, ‎e) pembiayaan, dan f) bantuan lain seperti efisiensi dan produktifitas usaha.‎
Kedua tipe sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan ‎perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan ‎oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.‎
Ketiga tipe dagang umum, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan ‎perusahaan mitra, dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra ‎sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Keempat pola kerjasama operasional, yaitu ‎kelompok mitra menyediakan modal dan atau sarana untuk mengusahakan/budidaya.‎

Manfaat Contract Farming

Dari beberapa tipe contract farming yang diuraikan di atas, dalam bidang peternakan ‎tersirat bahwa kerjasama antar peternak dengan pihak kedua dapat terjalin secara baik ‎bila terdapat saling ketergantungan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, ‎adanya contract farming dalam bidang perternakan dapat menguntungkan kedua belah ‎pihak yaitu peternak dan perusahaan (sponsor). Contract farming memungkinkan ‎adanya dukungan yang lebih luas serta dapat mengatasi masalah-masalah yang ‎berkaitan dengan minimnya informasi. Selain itu contract farming juga mengurangi ‎resiko bagi peternak. Mereka memiliki kepastian bahwa produk yang dihasilkannya ‎akan dibeli. Dalam jangka panjang mereka juga memperoleh manfaat yaitu peluang ‎kemitraan di masa depan serta akses terhadap program-program pemerintah.‎

Menurut Key dan Runsten (1999) dalam bukunya Contract Farming, Smallholders ‎and Rural Development in Latin America, manfaat dari keikutsertaan dalam kontrak ‎yaitu pengembangan akses pasar, kredit dan teknologi, manajemen resiko yang lebih ‎baik, memberikan kesempatan kerja yang lebih baik bagi anggota keluarga dan secara ‎tidak langsung, pendayagunaan perempuan serta pengembangan dari budaya berniaga ‎yang berhasil.‎

Dilihat dari pihak perusahaan, terdapat beberapa manfaat dengan adanya sistem ‎contract farming dengan peternak kecil. Manfaat yang paling penting adalah mereka ‎memperoleh akses untuk mendapatkan buruh dan kandang yang lebih murah untuk ‎menumbuhkan produk peternakan yang bernilai tinggi. Perusahaan dapat ikut serta ‎dalam pasar di mana biasanya mereka tidak diikutsertakan dan meminimalisir biaya ‎dengan tidak membeli kandang sendiri atau secara langsung menyewa buruh. Pasokan ‎bahan mentah dapat terjaga dengan batasan yang rasional dan memiliki kendali ‎terhadap dasar produksi dan perlakuan pasca panen. Selain itu perusahaan juga ‎memiliki kendali terhadap kualitas produk dan memiliki kesempatan memperoleh dan ‎memperkenalkan jenis bibit ternak baru serta peningkatan kemungkinan pemenuhan ‎kebutuhan konsumen secara spesifik.‎

Patrick dan Daryanto (2004) dalam bukunya Contract Farming in Indonesia: ‎Smallholder and Agribusiness Working Together memberikan contoh contract farming ‎di bidang peternakan yang dilakukan oleh PT Charoen Pokphand yang dimulai pada ‎tahun 1998 di Lombok. Kerjasama dilakukan dengan peternak yang mengusahakan ‎ayam broiler. Pilihan bagi ayam broiler menjadi sangat menguntungkan bagi peternak ‎dengan penghasilan yang bisa mencapai lima kali lipat dibandingkan dengan ‎penghasilan peternak bukan kontrak. Biaya untuk produksi daging ayam sangat tinggi ‎dan peternak menerima uang muka dari perusahaan untuk membeli pakan dan ‎keperluan lain untuk mengatasi keterbatasan kredit. Resiko dan rendahnya produksi ‎dan rendahnya harga ditanggung oleh perusahaan. PT Indomilk juga menjalankan ‎kerjasama dengan tipe inti plasma dimana antara peternak dan industri pengolah susu ‎berusaha menjaga keseimbangan posisi tawar sehingga kebutuhan akan persediaan ‎susu segar dapat terpenuhi secara kontinyu.‎

PERMASALAHAN

Contract farming yang telah berjalan di beberapa daerah umumnya menunjukkan hasil ‎yang positif, namun demikian beberapa permasalahan sering terjadi baik dari pihak ‎peternak maupun pihak perusahaan. Terdapat banyak peternak yang belum mampu ‎menghasilkan produk yang diinginkan perusahaan. Peternak tidak mampu ‎mengembalikan pinjaman input dan kredit akibat kegagalan produksi, deduksi ‎finansial atau tidak adanya jaminan harga dari pihak industri pengolahan dan tidak ‎jarang melanggar kontrak dengan menjual hasil produksinya pada pesaing perusahaan ‎sponsor (inti).‎

Selain itu terdapat pula keprihatinan bahwa contract farming lebih berminat terhadap ‎peternak berskala besar sehingga dengan demikian peternal kecil kurang dilibatkan ‎dalam proses pengembangannya lebih lanjut. Kecemasan-kecemasan lainnya ialah ‎adanya kemungkinan bahwa peternak kecil akan “terperangkap” dalam suatu kontrak ‎dan perilaku negatif perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara ‎berkembang.‎

Untuk posisi perusahaan, mencari peternak kecil yang layak dan memilih peternak ‎kecil yang lebih baik memerlukan biaya transaksi yang cukup tinggi. Hal tersebut ‎membatasi perusahaan untuk terhubung dengan peternak kecil. Perusahaan sulit ‎mempertahankan dan mengawasi kualitas peternak karena jumlah peternak kecil yang ‎begitu banyak. Kehadiran dari lembaga-lembaga pelengkap, seperti organisasi peternak ‎kecil, sangat penting sekali sebagai mediasi antara peternak dengan perusahaan.‎

PENUTUP: IMPLIKASI KEBIJAKAN

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa contract farming dapat memberikan ‎keuntungan bagi kedua pelaku (peternak dan perusahaan) dan perekonomian secara ‎luas. Akan tetapi diperlukan kebijakan khusus untuk menangani permasalahan-‎permasalahan yang terjadi pada contract farming tersebut. Kebijakan yang dapat ‎diambil antara lain :‎
Pertama perlu dibentuknya pola kemitraan yang mapan dan terpadu dan semua pihak ‎yang terkait harus mampu berdampingan secara serasi yang saling membutuhkan dan ‎saling ketergantungan. Dalam membangun kemitraan diperlukan adanya keterpaduan ‎dari berbagai unsur baik peternak/kelompok peternak, pemerintah dan ‎swasta/usahawan. Peternak adalah pelaku utama yang harus diberdayakan. Untuk ‎memberdayakan peternak, tahap awal yang harus dilakukan adalah membentuk ‎kelembagaan berupa kelompok peternak yang merupakan organisasi kerjasama. Untuk ‎dapat berusaha secara teratur dan terarah maka kelembagaan kelompok tersebut perlu ‎menjalin kerjasama dan kemitraan dengan pihak luar/swasta. Keterkaitan dan ‎kerjasama dengan pihak swasta dapat terjalin dengan baik bila terdapat saling ‎ketergantungan dan kerjasama yang bersifat simetri serta saling menguntungkan. Peran ‎pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program diharapkan dapat mendorong dan ‎menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menggairahkan peternak maupun pihak ‎swasta sehingga usaha dapat berkembang. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai ‎fasilitator, regulator, motivator yang harus menserasikan hubungan antar pelaku ‎tersebut, sehingga para pelaku dapat berinteraksi secara proporsional dan tidak terjadi ‎eksploitasi yang bersifat kontradiktif.‎
Kedua, yaitu mengoptimalkan peran lembaga keuangan (bank) sebagai lembaga yang ‎membantu pembiayaan (kredit) untuk peternak dan perusahaan yang menjalankan ‎sistem contract farming. Bank dapat membantu peternak dan perusahaan dalam ‎mendapatkan kredit dengan prosedur dan persyaratan yang mudah.‎
Ketiga, kelompok peternak sangat berpotensi menggerakkan dan memberdayakan ‎ekonomi peternak. Untuk itu sistem contract farming dalam perwujudannya ke depan ‎harus mengoptimalkan peran kelompok peternak dan sekaligus mendorong dan ‎membantu kelompok tersebut baik dari aspek pembiayaan maupun manajemen ‎kelembagaan.‎
Keempat, pemerintah seyogianya mendukung contract farming dengan mengeluarkan ‎kebijakan-kebijakan antara lain:‎

a) Penerapan hukum dan peraturan tidak menghambat pengembangan usaha ‎peternakan dan contract farming.‎

b) Contract farming harus didukung dan dilindungi oleh sistem hukum yang legal dan ‎efisien.‎

c) Pengembangan dan perbaikan infrastruktur.‎

d) Peternak harus dilindungi dari eksploitasi dalam kegiatan kerjasama dengan pihak ‎industri dengan cara mengecek kelayakan finansial dan kapasitas manajerial industri ‎‎(perusahaan) akan mampu menghasilkan bisnis yang menguntungkan semua pihak.‎

e) Meningkatkan kekuatan negosiasi peternak.‎

Jika permasalahan-permasalahan menyangkut contract farming dapat diantisipasi ‎secara memadai, dan kebijakan-kebijakan di atas dapat diselenggarakan dengan ‎efektif, dengan penerapan contract farming, potensi bidang peternakan nasional yang ‎demikian besar, saya kira secara bertahap dapat diwujudkan. Tidaklah berlebihan ‎kalau contract farming dapat diyakini sebagai sumber baru pertumbuhan dalam ‎meningkatkan kinerja di bidang peternakan. Semoga.‎

Qurban pendekat diri kepada Allah

Firman Allah dalam surat Alkautsar "Fasholli lirobbika wanhar" Shollatlah dan berkurbanlah, maka sebagai orang Islam menjadi suatu keharusan untuk berupaya menjalankan perintah tersebut, ternyata di balik perintah tersebut Allah SWT menyediakan pahala yang besar bahkan sebanding dengan orang yang mati syahid di medan perang dalam rangka menegakkan Agama Allah. Allah juga berfirman dalam Al-Qur'an :"Barangsiapa yang mempersungguh di jalanKu niscaya akan Kutunjukkan jalanKu". Kalau kita mempersungguh pasti kita akan menggapai yang kita tuju tersebut termasuk melaksanakan ibadah Kurban. Orang muttaqin adalah orang-orang yang mempersungguh menjalankan perintah Allah.
Secara horizontal dengan ibadah kurban ditangkap makna bahwa bagi orang yang mampu dalam materi diundang oleh Alloh untuk berbagi kepada sesama.


Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaaha illallohu Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahi Alhamdu.

Nabila Ardiana
SDN Cibogo I Ciranjang

Launching

Mari bergabung untuk mengasah hati, fikiran dan tindakan kita menuju ke arah yang lebih baik. Mudah-mudahan blog ini bisa mengangkat harkat dan martabat kita sebagai manusia yang hakikinya hanya untuk beribadah kepada Allah semata.
Visi Saya : Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Misi Saya : Menjalani Aturan Alloh Rosul dan Ulil Amri yang tidak maksiat
Sebagai hamba Allah mari kita dekatkan diri kepada Alloh dengan mempelajari rambu-rambu yang ditetapkan Alloh, sebagai makluk sosial mari kita tata kebersamaan kita untuk hidup yang harmonis diantara kita.