Contract Farming

PENDAHULUAN

Sektor pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan) ‎merupakan sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja nasional. Menurut data ‎Depnakertrans, tahun 2005, sektor ini menyediakan pekerjaan bagi 41,8 juta jiwa atau ‎‎44,04% dari total tenagakerja nasional. Akan tetapi petani yang bekerja di sektor ‎tersebut didominasi oleh rumah tangga yang sangat lemah dalam berbagai bidang, ‎seperti keterbatasan dalam menguasai aset produktif, modal kerja, posisi tawar dan ‎kekuatan politik ekonomi sehingga tidak dapat berkembang secara mandiri dan ‎dinamis. Jumlah penduduk miskin di Indonesia didominasi oleh masyarakat pedesaan ‎yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, peternak dan nelayan. Sementara ‎di pihak lain peluang-peluang baru untuk meningkatkan sektor pertanian lebih banyak ‎berpihak pada preses produksi dan pemasaran berskala besar. Kondisi tersebut ‎mengakibatkan bertambah rumitnya sistem produksi dan pemasaran yang dihadapi ‎oleh petani, peternak dan nelayan berskala kecil.‎

Khususnya dalam bidang peternakan terdapat berbagai masalah yang dihadapi ‎misalnya rendahnya kepemilikan modal, peralatan yang masih sederhana dan terbatas, ‎kurangnya industri pengolahan dan sulitnya aspek pemasaran, yang membuat peternak ‎tidak mampu menghasilkan produk yang bernilai dan berdaya saing tinggi. Oleh ‎karena itu, peternak memerlukan bantuan dan perlindungan dari banyak pihak, baik ‎pemerintah maupun swasta dalam menyelesaikan masalah tersebut. Untuk ‎memberdayakan peternak dalam posisi tawar dapat dilakukan antara lain dengan ‎membentuk kelembagaan yang merupakan organisasi kerjasama dan kemitraan. Salah ‎satu langkah strategis untuk membantu petani khususnya dalam proses produksi dan ‎pemasaran yaitu dengan sistem contract farming. ‎

APAKAH CONTRACT FARMING DAN APA SAJA MANFAATNYA?‎

Pengertian dan Tipe Contract Farming

Sistem pertanian kontrak (contract farming) merupakan satu mekanisme kelembagaan ‎‎(kontrak) yang memperkuat posisi tawar-menawar petani, peternak dan nelayan ‎dengan cara mengkaitkannya secara langsung atau pun tidak langsung dengan badan ‎usaha yang secara ekonomi relatif lebih kuat. Melalui kontrak, petani, peternak dan ‎nelayan kecil dapat beralih dari usaha tradisional/subsisten ke produksi yang bernilai ‎tinggi dan berorientasi ekspor. Hal ini tidak hanya berpotensi meningkatkan ‎penghasilan petani, peternak dan nelayan kecil yang ikut dalam kontrak tetapi juga ‎mempunyai efek berlipat ganda (multiplier effects) bagi perekonomian di pedesaan ‎maupun perekonomian dalam skala yang lebih luas.‎

Contract farming dapat juga dimaknai sebagai sistem produksi dan pemasaran berskala ‎menengah, dimana terjadi pembagian beban resiko produksi dan pemasaran diantara ‎pelaku agribisnis dan petani, peternak dan nelayan kecil; kesemuanya ini dilakukan ‎dengan tujuan mengurangi biaya transaksi. Menurut Eaton dan Shepherd (2001) ‎dalam bukunya Contract Farming: Partnership for Growth, contract farming dapat ‎dibagi menjadi lima model.‎
Pertama, centralized model, yaitu model yang terkoordinasi secara vertikal, dimana ‎sponsor membeli produk dari para petani dan kemudian memprosesnya atau ‎mengemasnya dan memasarkan produknya.‎
Kedua, nucleus estate model, yaitu variasi dari model terpusat, dimana dalam model ‎ini sponsor dari proyek juga memiliki dan mengatur tanah perkebunan yang biasanya ‎dekat dengan pabrik pengolahan.‎
Ketiga, multipartite model, yaitu biasanya melibatkan badan hukum dan perusahaan ‎swasta yang secara bersama berpartisipasi bersama para petani.‎
Keempat, informal model, yaitu model yang biasanya diaplikasikan terhadap ‎wiraswasta perseorangan atau perusahaan kecil yang biasanya membuat kontrak ‎produksi informal yang mudah dengan para petani berdasarkan musiman.‎
Kelima, intermediary model.‎

Di Indonesia secara umum kita mengenal empat tipe kontrak/kemitraan, yaitu:‎
pertama tipe kemitraan inti plasma yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra ‎dengan perusahaan mitra dimana kelompok mitra bertindak sebagai plasma inti. ‎Perusahaan mitra membina kelompok mitra dalam hal a) penyediaan dan penyiapan ‎lahan (kandang), b) pemberian saprodi (sapronak), c) pemberian bimbingan teknis ‎manajemen usaha dan produksi, d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi, ‎e) pembiayaan, dan f) bantuan lain seperti efisiensi dan produktifitas usaha.‎
Kedua tipe sub kontrak, yaitu hubungan kemitraan antar kelompok mitra dengan ‎perusahaan mitra dimana kelompok mitra memproduksi komponen yang diperlukan ‎oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.‎
Ketiga tipe dagang umum, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok mitra dengan ‎perusahaan mitra, dimana kelompok mitra memasok kebutuhan perusahaan mitra ‎sesuai dengan persyaratan yang ditentukan. Keempat pola kerjasama operasional, yaitu ‎kelompok mitra menyediakan modal dan atau sarana untuk mengusahakan/budidaya.‎

Manfaat Contract Farming

Dari beberapa tipe contract farming yang diuraikan di atas, dalam bidang peternakan ‎tersirat bahwa kerjasama antar peternak dengan pihak kedua dapat terjalin secara baik ‎bila terdapat saling ketergantungan yang saling menguntungkan. Dengan kata lain, ‎adanya contract farming dalam bidang perternakan dapat menguntungkan kedua belah ‎pihak yaitu peternak dan perusahaan (sponsor). Contract farming memungkinkan ‎adanya dukungan yang lebih luas serta dapat mengatasi masalah-masalah yang ‎berkaitan dengan minimnya informasi. Selain itu contract farming juga mengurangi ‎resiko bagi peternak. Mereka memiliki kepastian bahwa produk yang dihasilkannya ‎akan dibeli. Dalam jangka panjang mereka juga memperoleh manfaat yaitu peluang ‎kemitraan di masa depan serta akses terhadap program-program pemerintah.‎

Menurut Key dan Runsten (1999) dalam bukunya Contract Farming, Smallholders ‎and Rural Development in Latin America, manfaat dari keikutsertaan dalam kontrak ‎yaitu pengembangan akses pasar, kredit dan teknologi, manajemen resiko yang lebih ‎baik, memberikan kesempatan kerja yang lebih baik bagi anggota keluarga dan secara ‎tidak langsung, pendayagunaan perempuan serta pengembangan dari budaya berniaga ‎yang berhasil.‎

Dilihat dari pihak perusahaan, terdapat beberapa manfaat dengan adanya sistem ‎contract farming dengan peternak kecil. Manfaat yang paling penting adalah mereka ‎memperoleh akses untuk mendapatkan buruh dan kandang yang lebih murah untuk ‎menumbuhkan produk peternakan yang bernilai tinggi. Perusahaan dapat ikut serta ‎dalam pasar di mana biasanya mereka tidak diikutsertakan dan meminimalisir biaya ‎dengan tidak membeli kandang sendiri atau secara langsung menyewa buruh. Pasokan ‎bahan mentah dapat terjaga dengan batasan yang rasional dan memiliki kendali ‎terhadap dasar produksi dan perlakuan pasca panen. Selain itu perusahaan juga ‎memiliki kendali terhadap kualitas produk dan memiliki kesempatan memperoleh dan ‎memperkenalkan jenis bibit ternak baru serta peningkatan kemungkinan pemenuhan ‎kebutuhan konsumen secara spesifik.‎

Patrick dan Daryanto (2004) dalam bukunya Contract Farming in Indonesia: ‎Smallholder and Agribusiness Working Together memberikan contoh contract farming ‎di bidang peternakan yang dilakukan oleh PT Charoen Pokphand yang dimulai pada ‎tahun 1998 di Lombok. Kerjasama dilakukan dengan peternak yang mengusahakan ‎ayam broiler. Pilihan bagi ayam broiler menjadi sangat menguntungkan bagi peternak ‎dengan penghasilan yang bisa mencapai lima kali lipat dibandingkan dengan ‎penghasilan peternak bukan kontrak. Biaya untuk produksi daging ayam sangat tinggi ‎dan peternak menerima uang muka dari perusahaan untuk membeli pakan dan ‎keperluan lain untuk mengatasi keterbatasan kredit. Resiko dan rendahnya produksi ‎dan rendahnya harga ditanggung oleh perusahaan. PT Indomilk juga menjalankan ‎kerjasama dengan tipe inti plasma dimana antara peternak dan industri pengolah susu ‎berusaha menjaga keseimbangan posisi tawar sehingga kebutuhan akan persediaan ‎susu segar dapat terpenuhi secara kontinyu.‎

PERMASALAHAN

Contract farming yang telah berjalan di beberapa daerah umumnya menunjukkan hasil ‎yang positif, namun demikian beberapa permasalahan sering terjadi baik dari pihak ‎peternak maupun pihak perusahaan. Terdapat banyak peternak yang belum mampu ‎menghasilkan produk yang diinginkan perusahaan. Peternak tidak mampu ‎mengembalikan pinjaman input dan kredit akibat kegagalan produksi, deduksi ‎finansial atau tidak adanya jaminan harga dari pihak industri pengolahan dan tidak ‎jarang melanggar kontrak dengan menjual hasil produksinya pada pesaing perusahaan ‎sponsor (inti).‎

Selain itu terdapat pula keprihatinan bahwa contract farming lebih berminat terhadap ‎peternak berskala besar sehingga dengan demikian peternal kecil kurang dilibatkan ‎dalam proses pengembangannya lebih lanjut. Kecemasan-kecemasan lainnya ialah ‎adanya kemungkinan bahwa peternak kecil akan “terperangkap” dalam suatu kontrak ‎dan perilaku negatif perusahaan-perusahaan multinasional di negara-negara ‎berkembang.‎

Untuk posisi perusahaan, mencari peternak kecil yang layak dan memilih peternak ‎kecil yang lebih baik memerlukan biaya transaksi yang cukup tinggi. Hal tersebut ‎membatasi perusahaan untuk terhubung dengan peternak kecil. Perusahaan sulit ‎mempertahankan dan mengawasi kualitas peternak karena jumlah peternak kecil yang ‎begitu banyak. Kehadiran dari lembaga-lembaga pelengkap, seperti organisasi peternak ‎kecil, sangat penting sekali sebagai mediasi antara peternak dengan perusahaan.‎

PENUTUP: IMPLIKASI KEBIJAKAN

Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa contract farming dapat memberikan ‎keuntungan bagi kedua pelaku (peternak dan perusahaan) dan perekonomian secara ‎luas. Akan tetapi diperlukan kebijakan khusus untuk menangani permasalahan-‎permasalahan yang terjadi pada contract farming tersebut. Kebijakan yang dapat ‎diambil antara lain :‎
Pertama perlu dibentuknya pola kemitraan yang mapan dan terpadu dan semua pihak ‎yang terkait harus mampu berdampingan secara serasi yang saling membutuhkan dan ‎saling ketergantungan. Dalam membangun kemitraan diperlukan adanya keterpaduan ‎dari berbagai unsur baik peternak/kelompok peternak, pemerintah dan ‎swasta/usahawan. Peternak adalah pelaku utama yang harus diberdayakan. Untuk ‎memberdayakan peternak, tahap awal yang harus dilakukan adalah membentuk ‎kelembagaan berupa kelompok peternak yang merupakan organisasi kerjasama. Untuk ‎dapat berusaha secara teratur dan terarah maka kelembagaan kelompok tersebut perlu ‎menjalin kerjasama dan kemitraan dengan pihak luar/swasta. Keterkaitan dan ‎kerjasama dengan pihak swasta dapat terjalin dengan baik bila terdapat saling ‎ketergantungan dan kerjasama yang bersifat simetri serta saling menguntungkan. Peran ‎pemerintah melalui berbagai kebijakan dan program diharapkan dapat mendorong dan ‎menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menggairahkan peternak maupun pihak ‎swasta sehingga usaha dapat berkembang. Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai ‎fasilitator, regulator, motivator yang harus menserasikan hubungan antar pelaku ‎tersebut, sehingga para pelaku dapat berinteraksi secara proporsional dan tidak terjadi ‎eksploitasi yang bersifat kontradiktif.‎
Kedua, yaitu mengoptimalkan peran lembaga keuangan (bank) sebagai lembaga yang ‎membantu pembiayaan (kredit) untuk peternak dan perusahaan yang menjalankan ‎sistem contract farming. Bank dapat membantu peternak dan perusahaan dalam ‎mendapatkan kredit dengan prosedur dan persyaratan yang mudah.‎
Ketiga, kelompok peternak sangat berpotensi menggerakkan dan memberdayakan ‎ekonomi peternak. Untuk itu sistem contract farming dalam perwujudannya ke depan ‎harus mengoptimalkan peran kelompok peternak dan sekaligus mendorong dan ‎membantu kelompok tersebut baik dari aspek pembiayaan maupun manajemen ‎kelembagaan.‎
Keempat, pemerintah seyogianya mendukung contract farming dengan mengeluarkan ‎kebijakan-kebijakan antara lain:‎

a) Penerapan hukum dan peraturan tidak menghambat pengembangan usaha ‎peternakan dan contract farming.‎

b) Contract farming harus didukung dan dilindungi oleh sistem hukum yang legal dan ‎efisien.‎

c) Pengembangan dan perbaikan infrastruktur.‎

d) Peternak harus dilindungi dari eksploitasi dalam kegiatan kerjasama dengan pihak ‎industri dengan cara mengecek kelayakan finansial dan kapasitas manajerial industri ‎‎(perusahaan) akan mampu menghasilkan bisnis yang menguntungkan semua pihak.‎

e) Meningkatkan kekuatan negosiasi peternak.‎

Jika permasalahan-permasalahan menyangkut contract farming dapat diantisipasi ‎secara memadai, dan kebijakan-kebijakan di atas dapat diselenggarakan dengan ‎efektif, dengan penerapan contract farming, potensi bidang peternakan nasional yang ‎demikian besar, saya kira secara bertahap dapat diwujudkan. Tidaklah berlebihan ‎kalau contract farming dapat diyakini sebagai sumber baru pertumbuhan dalam ‎meningkatkan kinerja di bidang peternakan. Semoga.‎

0 komentar: